A.
Pengertian
Makna Civil Society “Masyarakat
sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan
berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang
pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya.
Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara
historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau,
John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat
sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan
ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Cornelis Lay melihat substansi
civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok
independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan
sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen.
Ia adalah agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004:
61). Sementara menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa
pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda
reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum
multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff
Haynes, 2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society
adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan
refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap
di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil
society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup
tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya
ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana
bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan
praktis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan
membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society
bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi
sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan
lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha
melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan
cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk
kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil
society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi
dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa
(Haryatmoko, 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan
Civil Society Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani
adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi
“Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan
tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil
society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan
di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil
society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas,
sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat
sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai
moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini
Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka,
egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
B.
Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ada beberapa ciri-ciri utama
dalam civil society,
(1) adanya kemandirian yang cukup
tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya
ketika berhadapan dengan negara;
(2) adanya ruang publik bebas
sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui
wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan
(3)
adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Berikut
ini adalah beberapa karakteristik masyarakat madani:
1.
Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik.
2.
Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga
muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi
dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan,
dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain
dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain.
Demokratisasi
dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b) Pers yang bebas
c) Supremasi hukum
d) Perguruan Tinggi
e) Partai politik
3.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik
dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk
disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan
merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5.
Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap
lingkungannya.
6.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari
rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat
memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7.Supremasi
hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih
menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1. Kualitas SDM
yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya
pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi
nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya
angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam
jumlah yang besar.
C.
Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani yang
menjadi perbincangan dewasa ini pada dasarnya memang mengacu pada konsep civil
society yang sudah berkembang di Barat, walaupun akhir-akhir ini sedang digali
juga pemikiran yang mengacu kepada “masyarakat Madinah”. Konsep civil society
yang telah mapan, sekalipun selalu mengalami pemikiran ulang (rethinking) itu,
bukan merupakan konsep yang universal, melainkan historis-kontekstual. Secara
historis, civil society dibentuk oleh tiga kejadian besar di Eropa Barat.
Pertama, Reformasi Teologis yang menghasilkan sekularisme. Kedua, Revolusi
lndustri yang menghasilkan model teknokratisme, baik yang bercorak kapitalisme
pasar, sosialisme maupun negara kesejahteraan (welfare state). Ketiga Revolusi
Perancis dan Revolusi Amerika yang menghasilkan model negara dan masyarakat
yang mengacu kepada trilogi liberte, egalite, fraternite dalam berbagai
coraknya.
Salah satu ide penting yang
melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas
hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor
publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan
sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok
profesional).
Secara politis, melalui konsep
civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris,
sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila
negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses
demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui
konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang
menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak
ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan
bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial,
melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara
individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil
society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau
mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial
yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku,
tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis
yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai
bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun
solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa
sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society
kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan
dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada
sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi
pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan
masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat
menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang
seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut
didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class).
Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak
dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam
tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut
mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat
menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat
birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr,
‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey
C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization,
1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications
Officer, Centre of Southeast Asian
Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim
berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut.
Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan
kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat
juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
Atau adi kuasa, civil society
berusaha menciptakan interaksi antara negara dan masyarakat dilekati
interdependensi, saling mengisi dan saling menguntungkan satu sama lain. Nilai
penting yang melekat dalam civil society adalah partisipasi politik dalam arti
peran masyarakat sangat diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan
publik atau masyarakat dapat mewarnai keputusan publik. Di samping itu juga ada
akuntabilitas negara (state accountability) dalam arti negara harus bisa
memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara
porposional dengan hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan
dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat). Selanjutnya, ide civil
society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor
swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif
atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum
atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan
sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum atau
asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar, kebebasan
melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah sebabnya
seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang sangat vital
bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society bertentangan
dengan karakteristik political society (yang menempatkan negara pada posisi
sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus selalu melawan negara
atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang telah dibangun oleh negara,
jadi status dan peran negara tetap diperlukan.
Salah satu ide penting yang
melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas
hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor
publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan
sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok
profesional).
Secara politis, melalui konsep
civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris,
sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila
negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses
demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui
konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang
menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak
ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan
bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial,
melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara
individual participation dan socialobligations. Dalam konteks ini, konsep civil
society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban) atau
mezzo-structures.
Yaitu bentuk pengelompokan sosial
yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku,
tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis
yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan pelbagai
bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun
solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa
sepenanggungan.
Kelahiran ide civil society
kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan
dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada
sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi
pelbagai bukti memperlihatkanbahwa sejumlah negara justru menempatkan
masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat
menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang
seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut
didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class).
Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak
dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh pelbagai macam
tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut
mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat
menjadi aparat yang harus loyal pada rejim. Kondisi ini selanjutnya membuat
birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol 2 Sztompka, Piotr,
‘Mistrusting Civility: Predicament of a Post-Communist Society’, dalam Jeffrey
C. Alexander (ed.), Real Civil Societies, Dilemmas of Institutionalization,
1998, p. 1913 Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications
Officer, Centre of Southeast Asian
Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-93 kegiatan rejim
berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi kepanjangan tangan rejim tersebut.
Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan
kemuan rejim daripada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat
juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul.
D.
Masyarakat Madani Dalam Islam
Membangun masyarakat dalam
kacamata Islam adalah tugas jama’ah, kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan
masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada kepemimpinan
Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah). Bangunan sosial
masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-menolong), takaful (saling
menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Masyarakat ideal – kerap disebut
masyarakat madani yang kadang disamakan
dengan masyarakat sipil (civil society), adalah masyarakat dengan
tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan
terbentuknya pemerintahan yang tunduk pada aturan dan undang-undang dengan
sistem yang transparan.Dalam konteks ini, kita memilih mengartikan masyarakat
madani sebagai terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani. Kata ini
secara etimologis mempunyai dua arti, pertama, masyarakat kota, karena kata
‘madani’ berasal dari kata madinah yang berarti ‘kota’, yang menunjukkan
banyaknya aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas; kedua, masyarakat
peradaban, karena kata ‘madani’ juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang
berarti ‘peradaban’. Masyarakat madani
adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Adalah Nabi Muhammad Rasulullah
sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat
peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang
terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota
wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di
Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh
kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya
menyanyikan lagu Thala’a al-badru ‘alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di
atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh
dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib
menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).
Secara konvensional, perkataan
“madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan,
perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban”
memang dinyatakan dalam kata-kata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dalam
kata-kata “hadharah”. Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi
Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa
beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum
Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
E. Masyarakat Madani Di Indonesia
Tantangan masa depan demokrasi di
negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang
diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan universal.
Kita semua harus bahu membahu agar jiwa dan semangat kemanusiaan universal itu
merasuk ke dalam jiwa setiap anak bangsa sehingga nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, terdapat beberapa
pokok pikiran penting dalam pandangan hidup demokrasi, yaitu:
(1) pentingnya kesadaran
kemajemukan atau pluralisme,
(2) makna dan semangat musyawarah
menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan
tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”,
(3) mengurangi dominasi
kepemimpinan sehingga terbiasa membuat keputusan sendiri dan mampu melihat
serta memanfaatkan alternatif-alternatif,
(4) menjunjung tinggi moral dalam
berdemokrasi
(5) pemufakatan yang jujur dan
sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat,
(6) terpenuhinya kebutuhan pokok;
sandang, pangan, dan papan, dan
(7) menjalin kerjasama dan sikap
yang baik antar warga masyarakat yang saling mempercayai iktikad baik
masing-masing.
Pemberdayaan masyarakat madani
ini menurut penulis harus di motori oleh dua ormas besar yaitu NU dan
Muhammadiyah. Dua organisasi Islam ini usia lebih tua dari republik. Oleh
karena itu, ia harus lebih dewasa dalam segala hal. Wibawa, komitmen dan
integritas para pemimpin serta manajemen kepemimpinannya harus bisa seimbang
dengan para pejabat negara, bahkan ia harus bisa memberi contoh baik bagi
mereka. Ayat yang disebutkan di awal itu mengisyarakat bahwa perubahan akan
terjadi jika kita bergerak untuk berubah.
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri”.
Dan
bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia,”(QS
Ar-Ra’d [13]: 11).
Masyarakat madani memiliki peran
signifikan dalam memelopori dan mendorong masyarakat. Pembangunan sumberdaya
manusia bisa ia rintis melalui penyelenggaraan program pendidikan, peningkatan
perekonomian rakyat bisa ditempuh melalui koperasi dan pemberian modal kepada pengusaha
dan menengah. Dua hal ini, dari banyak hal, yang menurut penulis sangat
kongkrit dan mendesak untuk digarap oleh elemen-elemen masyarakat madani,
khususnya ormas-ormas, guna memelopori dan mendorong perubahan masyarakat ke
arah yang lebih baik.
Untuk membangun masyarakat yang
maju dan berbudaya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi
dengan iman dan takwa, paling tidak harus ada tiga syarat: menciptakan inovasi
dan kreasi, mencegah kerusakan-kerusakan sumber daya, dan pemantapan spiritualitas.
Masyarakat madani itu hendaknya kreatif terhadap hal-hal baru, antisipatif dan
preventif terhadap segala kemungkinan buruk, serta berketuhanan Yang Maha Esa.
Jika syarat-syarat dan
komponen-komponen masyakarat madani berdaya secara maksimal, maka tata
kehidupan yang demokratis akan terwujud. Selain ikut membangun dan
memberdayakan masyarakat, masyarakat madani juga ikut mengontrol
kebijakan-kebijakan negara. Dalam pelaksanaannya, mereka bisa memberikan saran
dan kritik terhadap negara. Saran dan kritik itu akan objektif, jika ia tetap
independen. Setiap warga negara berada dalam posisi yang sama, memilik
kesempatan yang sama, bebas menentukan arah hidupnya, tidak merasa tertekan
oleh dominasi negara, adanya kesadaran hukum, toleran, dan memahami hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat madani sukar tumbuh dan
berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui
korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama
terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah
tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki
kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya,
sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda
pemerintahan.
F.
Analisa Masalah
Sesuai dengan pengertian dan
masyarakat yaitu masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dapat
disimpulkan bahwa masih banyak kekurangan yang terjadi dinegara kita.
Adapun yang masih menjadi kendala
dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya:
1). Kualitas SDM yang belum memadai karena
pendidikan yang belum merata.
2). Masih rendahnya pendidikan politik
masyarakat.
3). Kondisi ekonomi nasional yang belum
stabil pasca krisis moneter.
4). Tingginya lapangan kerja yang belum
terserap karena lapangan kerja yang terbatas.
Oleh karena itu
dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman pemberdayaan civil society
perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya:
1). Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya
peningkatan pendapatan dan pendidikan.
2). Sebagai
advokasi bagi masyarakat yang teraniaya, tidak berdaya membela hak-hak dan
kepentingan mereka.